BAB I
BATASAN ATAU PENGERTIAN
1. Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diit (Beck, 2000: 1).
Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Gibson, 1990). Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsir, 2001).
BATASAN ATAU PENGERTIAN
1. Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diit (Beck, 2000: 1).
Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Gibson, 1990). Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsir, 2001).
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi
A. Faktor External
Faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi antara lain:
a. Pendapatan
Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf ekonomi keluarga, yang hubungannya dengan daya beli yang dimiliki keluarga tersebut (Santoso, 1999).
b. Pendidikan
Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua atau masyarakat untuk mewujudkan dengan status gizi yang baik (Suliha, 2001).
c. Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan keluarganya. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Markum, 1991).
d. Budaya
Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan (Soetjiningsih, 1998).
B. Faktor Internal
Faktor Internal yang mempengaruhi status gizi antara lain :
a. Usia
Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi anak balita (Nursalam, 2001).
b. Kondisi Fisik
Mereka yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status kesehatan mereka yang buruk. Bayi dan anak-anak yang kesehatannya buruk, adalah sangat rawan, karena pada periode hidup ini kebutuhan zat gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat (Suhardjo, et, all, 1986).
c. Infeksi
Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan (Suhardjo, et, all, 1986).
BAB II
KLASIFIKASI ATAU PENGELOMPOKAN
1. STATUS GIZI USIA ANAK SEKOLAH
a. Perkembangan Fisik dan Sosial.
Kelompok anak usia 7-9 tahun sebagai anak sekolah. Anak usia sekolah berusaha mengembangkan kebebasan dan membentuk nilai-nilai pribadi. Kebutuhan gizi antar anak berbeda, hal ini dipengaruhi oleh ukuran dan komposisi tubuh, pola aktivitas dan kecepatan tumbuh.
Pertumbuhan cepat pada waktu bayi diikuti penurunan laju pertumbuhan pada anak pra sekolah dan anak usia sekolah. Rata-rata kenaikan berat badan di usia ini sekitar 1,8-2,7 kg setahun, sedangkan tinggi badan kurang lebih 7,6 cm setahun pada anak antara satu tahun sampai tujuh tahun, kemudian meningkat sebanyak 5,1 cm setahun hingga awal pertumbuhan cepat pada usia remaja.
Kelompok ini mempunyai laju pertumbuhan fisik yang lambat tetapi konsisten, terus menerus memperoleh pendewasaan dalam keterampilan motorik serta menunjukkan peningkatan yang berarti dalam keterampilan kognitif, sosial dan emosional. Kebiasaan makan yang terbentuk pada usia ini, serta jenis makanan yang disukai dan tidak disukai, merupakan dasar bagi pola konsumsi makanan dan asupan gizi anak usia selanjutnya.
Anak usia sekolah mempunyai banyak akses ke uang, warung, penjaja makanan di lingkungan sekolah, toko swalayan yang menyebabkan terbukanya gerbang terhadap makanan yang nilai gizinya tidak jelas.
b. Pola Makan
Makan pagi sangat penting agar anak lebih bisa konsentrasi dan tidak mengantuk waktu belajar. Namun banyak anak yang tidak mau makan pagi dengan berbagai alasan. Makan malam bersama keluarga memberi kesempatan kepada keluarga untuk berinteraksi dan bersosialisasi.
c. Masalah gizi dan masalah kesehatan anak
1. Gizi kurang, gizi buruk dan gizi lebih
Status gizi anak diukur berdasarkan umur(U), berat badan(BB), dan tinggi badan(TB). Prevalensi gizi buruk, gizi kurang , gizi baik dan gizi lebih yang didasarkan pada indikator berat badan menurut umur (BB/U).
Presentase Status Gizi anak didasarkan pada
Indikator BB/U Tahun 2005, 2007, 2010
Status Gizi Tahun
2005 2007 2010
Gizi lebih 4,3 5,8
Gizi baik 77,2 76
Gizi kurang 28 13 13
Gizi buruk 8,8 5,4 4,9
Sumber:
1. Susenas 2005
2. Depkes RI 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007
3. Depkes RI 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010
Status gizi anak berdasarkan indikator TB/U menggambarkan status gizi yang bersifat kronis, merupakan akibat keadaan kurang gizi dalam waktu yang panjang. Indikator TB/U dinyatakan dalam tinggi badan normal, pendek dan sangat pendek. Anak yang termasuk katagori sangat pendek (stunting) pada tahun 2010 sebanyak 18,5% dan yang pendek 17,1%, bila keduanya digabungkan dan menjadi angka 35,6%, merupakan masalah nasional yang serius (Kempkes RI, 2010).
Indikator lain yang digunakan untuk menilai status gizi anak adalah BB/TB, digunakan untuk menyatakan kurus, sangat kurus dan gemuk. Menurut Riskesdas 2010(Kemkes RI, 2010), prevalensi sangat kurus (wasting kritis) adalah 6,0% dan prevalensi kurus (wasting serius) adalah 7,3% sedangkan prevalensi kegemukan adalah 14,0%. Status gizi anak umur 6-12 tahun dengan prevalensi kurus pada anak laki-laki adalah 13,2% sedangkan pada anak perempuan adalah 11,2%. Sedangkan prevalensi berat badan lebih gemuk adalah 10,7% pada anak laki-laki dan 7,7% pada anak perempuan.
2. Anaemia Gizi Besi
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Depkes RI,2008) menunjukkan prevalensi anaemia pada anak usia 5-14 tahun sebesar 9,4%. Sebanyak 70,1% anaemia pada anak usia 1-14 tahun adalah anemia jenis mikrositik hipokromik.
3. Kurang Vitamin A dan kurang Yodium
Masalah gizi di Indonesia menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI (2006) adalah kekurangan Vitamin A (KVA) dan gangguan akibat Yodium (GAKY). Diantara 18 juta anak, sebanyak 10 juta menderita KVA . Sementara itu diantara 31 juta anak sekolah 3,4 juta berisiko menderita GAKY.
4. Karies Gigi
Karies gigi merupakan penyakit yang biasa ditemui pada anak-anak semua umur dengan berbagai tingkat ekonomi. Data tentang prevalensi karies gigi di Indonesia belum tersedia. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Depkes RI, 2007) menunjukkan masalah gigi dan mulut penduduk usia 5-14 tahun adalah 21,6%. Karies gigi termasuk dalam masalah kesehatan gigi dan mulut.
2. STATUS GIZI USIA REMAJA
Hurlock (1973) memberi batasan masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut Thornburgh (1982), batasan usia tersebut adalah batasan tradisional, sedangkan alran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.
Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan anak-anak pra-remaja untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka dalam kategori remaja. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan dalam golongan remaja, dengan pertimbangan bahwa pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut.
Lebih lanjut Thornburgh membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun
2. Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun
3. Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.
a. Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja
Anak remaja putri mulai mengalami pertumbuhan tubuh pada usia rata-rata 8-9 tahun, dan mengalami menarche rata-rata pada usia 12 tahun. Pada anak remaja putra mulai menunjukan perubahan tubuh pada usia sekitar 10-11 tahun, sedangkan perubahan suara terjadi pada usia 13 tahun (Katchadurian, 1989).
Usia remaja (10-18 tahun) merupakan periode rentan gizi karena berbagai sebab yaitu:
1. Remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan fisik.
2. Perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan.
3. Remaja yang mempunyai kebutuhan gizi khusus, misalnya remaja yang aktif berolah raga atau yang menderita penyakit kronis.
Proses perkembangan fisik dari usia anak menjadi dewasa disebut pubertas. Pertumbuhan lambat selama masa anak mulai meningkat menjelang masa remaja, dan akhirnya pada masa remaja terjadi laju pertumbuhan cepat.
Selama pubertas, kecepatan tumbuh maksimum laki-laki pun lebih tinggi, sehingga menghasilkan perbedaan rata-rata tinggi badan akhir anak laki dan perempuan kurang lebih 13,3 cm. Pertumbuhan tinggi badan pada perempuan berhenti pada usia rata-rata 17,3 tahun, sedangkan pada laki-laki pada usia rata-rata 21,2 tahun, namun hal ini sangat bervariasi.
Kecepatan penambahan berat badan selama remaja sejajar dengan kecepatan kenaikan tinggi badan. Pada laki-laki, puncak kecepatan kenaikan TB sejalan dengan puncak kecepatan penambahan BB, sedangkan pada perempuan kecepatan penambahan BB terjadi antara 6-9 bulan sebelum puncak kenaikan TB.
b. Masalah Gizi dan Masalah Kesehatan Remaja
1. Hipertensi dan Hiperlipidemia
Banyak penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa penyakit-penyakit kardiovaskuler, pembuluh darah jantung dan hipertensi esensial, dimulai sejak masa kanak-kanak (Worthington Roberts dan Williams, 2000). Obesitas berkaitan dengan tekanan darah tinggi dan dengan kadar lipoprotein serum tidak normal. Bila remaja menderita hipertensi atau ada sejarah hipertensi dalam keluarga maka diterapkan diet yang rendah garam dapur dan energi total.
2. Karies gigi dan penyakit gigi dan mulut
Hasil Riskesdas 2007 (Depkes RI,2008) menunjukkan prevalensi karies aktif dalam 12 bulan terakhir pada remaja usia 12, 15, dan 18 tahun secara berturut-turut adalah sebesar 29,8%, 36,1% dan 41,2%. Pada remaja 10-14 tahun mengalami masalah gigi dan mulut sebesar 20,6%.
3. Obesitas
Walaupun kebutuhan energi dan zat-zat gizi lebih besar pada remaja daripada dewasa, tetapi ada sebagian remaja yang makannya terlalu banyak melebihi kebutuhannya sehingga menjadi gemuk. Aktif berolah raga dan melakukan pengaturan makan adalah cara untuk menurunkan berat badan. Diet tinggi serat sangat sesuai untuk para remaja yang sedang melakukan penurunan berat badan. Pada umumnya makanan yang serat tinggi mengandung sedikit energi, dengan demikian dapat membantu menurunkan berat badan, disamping itu serat dapat menimbulkan rasa kenyang sehingga dapat menghindari ngemil makanan/kue-kue.
4. Kurang Energi Kronis
Pada remaja badan kurus atau disebut Kurang Energi Kronis tidak selalu berupa akibat terlalu banyak olah raga atau aktivitas fisik. Pada umumnya adalah karena makan terlalu sedikit. Remaja perempuan yang menurunkan berat badan secara drastis erat hubungannya dengan faktor emosional seperti takut gemuk seperti ibunya atau dipandang lawan jenis kurang seksi.
5. Anemia
Anemia karena kurang zat besi adalah masalah yang paling umum dijumpai terutama pada perempuan. Zat besi diperlukan untuk membentuk sel-sel darah merah, dikonversi menjadi hemoglobin, beredar ke seluruh jaringan tubuh, berfungsi sebagai pembawa oksigen. Remaja perempuan membutuhkan lebih banyak zat besi daripada laki-laki.
BAB III
PENILAIAN STATUS GIZI (WHO, 2006)
Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
Supariasa, dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran tubuh. Maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat dan tingkat gizi.
Pengukuran antropometri relatif mudah dilaksanakan. Akan tetapi untuk berbagai cara, pengukuran antropometri ini membutuhkan keterampilan, peralatan dan keterangan untuk pelaksanaanya. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Untuk ukuran massa jaringan : Pengukuran berat badan, tebal lemak dibawah kulit, lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifanya sensitif, cepat berubah, mudah turun naik dan menggambarkan keadaan sekarang.
2. Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahan relatif lambat, ukuranya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat masa lalu.
Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi anak adalah indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) (Depkes RI, 1995).
1. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau berkembang lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan sifat-sifat ini, maka indeks berat badan menurut umur (BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini (current nutritional status).
Kelebihan indeks BB/U yaitu :
1. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.
2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek.
3. Dapat mendeteksi kegemukan (Over weight).
Sedangkan kelemahan dari indek BB/U adalah :
1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat oedema.
2. Memerlukan data umur yang akurat.
3. Sering terjadi kesalahan pengukuran misalnya pengaruh pakaian, atau gerakan anak pada saat penimbangan.
4. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat. Dalam hal ini masih ada orang tua yang tidak mau menimbangkan anaknya karena seperti barang dagangan (Supariasa, 2002).
2. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dangan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama.
Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau, dan dapat juga digunakan sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah (tujuh tahun), menggambarkan status gizi masa balitanya. Masalah penggunaan indek TB/U pada masa balita, baik yang berkaitan dengan kesahlian pengukuran tinggi badan maupun ketelitian data umur.
Kelemahan penggunaan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) yaitu :
a. Tidak dapat member gambaran keadaan pertumbuhan secara jelas.
b. Dari segi operasional, sering dialami kesulitan dalam pengukuran terutama bila anak mengalami keadaan takut dan tegang (Jahari, 1998).
3. Indeks Massa Tubuh Menurut (IMT/U)
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan pelaksanaan perbaikan gizi adalah dengan menentukan atau melihat. Ukuran fisik seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Atas dasar itu, ukuran-ukuran yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi dengan melakukan pengukuran antropometri. Hal ini karena lebih mudah dilakukan dibandingkan cara penilaian status gizi lain, terutama untuk daerah pedesaan (Supariasa, dkk., 2001).
Pengukuran status gizi pada anak sekolah dapat dilakukan dengan cara antropometri. Saat ini pengukuran antropometri (ukuran-ukuran tubuh) digunakan secara luas dalam penilaian status gizi, terutama jika terjadi ketidakseimbangan kronik antara intake energi dan protein. Pengukuran antropometri terdiri atas dua dimensi, yaitu pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Komposisi tubuh mencakup komponen lemak tubuh (fat mass) dan bukan lemak tubuh (non-fat mass) (Riyadi, 2004).
Pengukuran status gizi anak sekolah dapat dilakukan dengan indeks antropometri dan menggunakan Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U) anak sekolah.
Rumus IMT
IMT= Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan (m)xTinggi Badan (m)
BATAS AMBANG NILAI
IMT
STATUS GIZI IMT
Kurus tingkat berat <17
kurus tingkat ringan 17,0-18,4
normal 18,5-25,0
gemuk tingkat ringan 25,1-27,0
gemuk tingkat berat >27
sumber: DEPKES 1996
4. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Antropometri
Dalam penelitian status gizi, khususnya untuk keperluan klasifikasi diperlukan ukuran baku (reference). Pada tahun 2009, Standar Antropometri WHO 2007 diperkenalkan oleh WHO sebagai standar antopometri untuk anak dan remaja di dunia.
Klasifikasi status gizi anak dan remaja menurut WHO 2007 adalah sebagai berikut :
Indeks BB/U :
a. Normal : ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD
b. Kurang : ≥ -3 SD s/d < -2 SD
c. Sangat Kurang : < -3 SD
Indeks TB/U :
a. Normal : ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD
b. Pendek : ≥ -3 SD s/d < -2 SD
c. Sangat pendek : < -3 SD
Indeks IMT/U :
a. Sangat gemuk : > 3 SD
b. Gemuk : > 2 SD s/d ≤ 3 SD
c. Normal : ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD
d. Kurus : ≥ -3 SD s/d < -2 SD
e. Sangat kurus : < -3 SD
BAB IV
MEKANISME HUBUNGAN ANTAR VARIABEL
1. ANAEMIA PADA USIA ANAK SEKOLAH DENGAN REMAJA
Anemia adalah kondisi dimana terjadi penurunan kadar hemoglobin, yang biasanya juga disertai oleh penurunan kadar eritrosit dan hematokrit sehingga kebutuhan tubuh terhadap oksien kurang terpenuhi.
Anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia karena konsekuensi yang menghancurkan dan besarnya. Ini tersebar luas tidak hanya pada wanita hamil tetapi juga di kalangan anak di bawah usia lima tahun, sekolah, remaja dan pekerja berpenghasilan rendah.
Prevalensi anemia pada sekolah anak-anak di berbagai wilayah Indonesia adalah antara 35,8% dan 60,6%, dan prevalensi rata-rata di tingkat nasional adalah 55,5%. Di Jawa Tengah prevalensi pada anak sekolah (44,9%) adalah di antara yang terendah, sedangkan pada wanita hamil (62,5%) termasuk yang tertinggi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Yayasan Kusuma Buana dari 3000 anak usia sekolah yang diperiksa, hampir separuhnya menderita anemia. Hal itu berarti satu dari dua anak usia sekolah menderita anemia. angka kejadian anemia di Indonesia berdasarkan SKRT 1995 pada anak usia kurang dari 5 tahun adalah 40,5 %, dan 47,2% pada usia 5-9 tahun serta 10-14 tahun, 25-84% pada perempuan tidak hamil serta 46-92% pada wanita hamil.
Dampaknya bisa terlihat saat anak memasuki usia pra sekolah dan usia sekolah. Anak akan mengalami gangguan konsentrasi, daya ingat rendah, kemampuan memecahkan masalah rendah, gangguan perilaku, dan tingkat IQ yang lebih rendah. Akibatnya adalah penurunan prestasi belajar dan kemampuan fisik anak.
Penelitian Halterman (2001) di Amerika Serikat, mendapatkan nilai catarata matematika pada anak yang menderita anemia defisiensi besi lebih rendah dibanding remaja tanpa anemia defisiensi besi.
Penelitian Bidasari dkk., di daerah perkebunan Aek Nabara bekerjasama dengan Facultas Psikologi USU (2006) pada remaja usia 15–18 tahun yang menderita anemia defisiensi besi diperoleh Full IQ tidak melebihi rata-rata dengan gangguan pemusatan perhatian dan fungsi kognitif terutama dalam bidang aritmatika.
2. KURANG ENERGI KRONIS/ KURANG ENERGI PROTEIN PADA ANAK USIA SEKOLAH DENGAN REMAJA
Kurang energi protein adalah penyakit gizi akibat defisiensi energi dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada derajat ringan pertumbuhan kurang, tetapi kelainan biokimiawi dan gejala klinis (marginal malnutrition). Derajat berat adalah tipe kwashiorkor dan tipe marasmus atau tiep marasmik-kwashiorkor. Jika keseimbangan tadi terganggu, misalnya pengeluaran energi dan protein lebih banyak dibandingkan pemasukan maka akan terjadi kekurangan energi protein, dan jika berlangsung lama akan timbul masalah yang dikenal dengan KEP berat atau gizi buruk (Depkes RI, 2000).
Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama atau menahun. Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mempunyai kecenderungan menderita KEK. Seseorang dikatakan menderita risiko KEK bilamana LILA <23,5 cm.
Gizi kurang akut biasanya mudah untuk dideteksi, berat badan anak akan kurang dan kurus – mereka akan memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan dan meningkatkan resiko terkena infeksi. Gizi kurang yang kronik lebih sulit diidentifikasi oleh suatu komunitas – anak akan tumbuh lebih lambat daripada yang diharapkan – baik dari segi berat badan maupun tinggi badan, dan tidak kelihatan terlalu kurus, namun pemeriksaan berat dan tinggi badan akan menunjukan bahwa mereka memiliki berat yang kurang pada grafik pertumbuhan anak – misalnya kerdil. Gizi kurang kronik dapat mempengaruhi perkembangan otak dan psikologi anak dan meningkatkan resiko terkena infeksi.
Di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Nepal Srilangka dan Thailand, prevalensi wanita yang mengalami KEK adalah 15-47% yaitu dengan BMI <18.5. Adapun negara yang mengalami prevalensi tertinggi adalah Bangladesh yaitu 47%, sedangkan Indonesia menjadi urutan ke empat terbesar setelah India dengan prevalensi 35.5% dan yang paling rendah adalah Thailand dengan prevalensi 15-25%. Hal ini terjadi karena sebagian besar wanita yang mengalami kekurangan energi disebabkan kurangnya asupan makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan mereka (WHO, 1997)
3. OBESITAS PADA ANAK SEKOLAH DENGAN REMAJA
Obesitas merupakan kondisi berat badan sangat berlebih. Obesitas didefinisikan sebagai penumpukan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas pada anak laki-laki timbul ketika berat badan tubuh total terdiri atas 25% lemak, sedangkan pada anak perempuan ketika berat badan tubuh total terdiri atas 32% lemak. Pendapat lain mendefinisikan obesitas berdasarkan nilai indeks massa tubuh (IMT). IMT dihitung dengan rumus sebagai berikut: BB(kg)/TB2(m). Berdasarkan grafik IMT, anak-anak dan remaja dikategorikan berisiko berat badan berlebih jika berada pada persentil ke-85 atau lebih, dan dinyatakan sebagai berat badan lebih jika berada pada persentil ke-95 atau lebih.
Obesitas atau kegemukan adalah salah satu masalah gizi pada anak-anak. Di Negara maju angka prevalensi obesitas cukup tinggi, sedangkan di negara berkembang angka prevalensi obesitas semakin meningkat. Obesitas pada anak-anak dapat berdampak pada masalah kesehatan fisik dan psikologis.
Sebuah survei nasional di Spanyol menyingkapkan bahwa 1 dari setiap 3 anak kelebihan berat badan atau obes. Hanya dalam waktu sepuluh tahun (1985-1995), obesitas pada anak naik tiga kali lipat di Australia. Dalam tiga dasawarsa terakhir, obesitas pada anak berusia 6 hingga 11 tahun meningkat lebih dari tiga kali lipat di Amerika Serikat.
Obesitas pada anak juga dialami negara-negara berkembang. Menurut Satuan Tugas Obesitas Internasional, di beberapa bagian Afrika, ada lebih banyak anak yang mengalami obesitas ketimbang malnutrisi. Pada tahun 2007, Meksiko menempati urutan kedua di dunia, setelah Amerika Serikat, untuk obesitas pada anak. Konon di Mexico City saja, 70 persen anak dan remaja kelebihan berat badan atau obes.
Tiga di antara komplikasi obesitas adalah diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung, yang sebelumnya dianggap sebagai problem kesehatan yang umumnya dialami orang dewasa. Menurut Institute of Medicine AS, 30 persen anak laki-laki dan 40 persen anak perempuan yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 2000 memiliki risiko bahwa suatu waktu mereka akan didiagnosis mengidap diabetes tipe 2 yang berkaitan dengan obesitas.
Survei menunjukkan tren yang mencemaskan di kalangan anak-anak. Meningkatnya obesitas mengarah ke meningkatnya tekanan darah tinggi. Kalau tren yang meningkat pada tekanan darah tinggi ini tidak dihentikan, kita dapat menghadapi ledakan kasus penyakit kardiovaskular baru di kalangan remaja dan orang dewasa. Prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupunnegara yang sedang berkembang. Berdasarkan SUSENAS, prevalensi obesitas (>120% median baku WHO/NCHS) pada anak mengalami peningkatan baik di perkotaan maupun pedesaan. Di perkotaan pada tahun 1989 didapatkan 4,6% laki-laki dan 5,9% perempuan, meningkat menjadi 6,3% laki-laki dan 8% perempuan pada tahun 1992 dan di pedesaan pada tahun 1989 didapatkan 2,3% laki-laki dan 3,8% perempuan, meningkat menjadi 3,9% laki-laki dan 4,7% perempuan pada tahun 1992.
Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas dimasa dewasa dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif dikemudian hari. Profil lipid darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid pada penyakit kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko hipertensi lebih besar.4 Penelitian Syarif menemukan hipertensi pada 20 – 30% anak yang obesitas.
4. KARIES GIGI PADA ANAK SEKOLAH DAN REMAJA
Karies gigi adalah sebuah penyakit infeksi yang merusak struktur gigi. Penyakit ini menyebabkan gigi berlubang.
Diperkirakan bahwa 90% dari anak-anak usia sekolah di seluruh dunia dan sebagian besar orangdewasa pernah menderitakaries. Prevalensi karies tertinggi terdapat diAsiadanAmerika Latin.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Depkes RI, 2007) menunjukkan masalah gigi dan mulut penduduk usia 5-14 tahun adalah 21,6%. Karies gigi termasuk dalam masalah kesehatan gigi dan mulut. Hasil Riskesdas 2007 (Depkes RI,2008) menunjukkan prevalensi karies aktif dalam 12 bulan terakhir pada remaja usia 12, 15, dan 18 tahun secara berturut-turut adalah sebesar 29,8%, 36,1% dan 41,2%. Pada remaja 10-14 tahun mengalami masalah gigi dan mulut sebesar 20,6%.
BAB V
FAKTOR-FAKTOR LAIN YANG MEMPENGARUHI VARIABEL DEPENDENT
1. Anaemia
Anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Faktor yang mempengaruhi anaemia defisiensi besi adalah kekurangan zat besi pada seseorang.
Angka kecukupan besi untuk anak usia 7-9 tahun dengan median kebutuhan besi sebanyak 7,1 mg/hari dan asumsi penyerapan sebesar 7,5% maka kecukupan besinya menjadi 10 mg/hr. Angka kecukupan besi remaja perempuan lebih tinggi daripada remaja laki-laki karena memperhitungkan kehilangan besi selama haid (dapat dilihat pada tabel AKG).
Kebutuhan besi dipengaruhi oleh keasaman lambung dan ketersediaan biologis besi yang dikonsumsi.
2. KEK/KEP dan OBESITAS
penyakit gizi akibat defisiensi energi dalam jangka waktu yang cukup lama menyebabkan KEP,sedangkan KEK disebabkan kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama atau menahun. Obesitas didefinisikan sebagai penumpukan lemak tubuh yang berlebihan.
Rata-rata kebutuhan energi untuk pertumbuhan setelah usia 12 bulan rendah, kurang lebih 5kkal/g penambahan jaringan. Pada semua umur, pola aktifitas anak berbeda, baik dalam hal jumlah waktu yang digunakan dalam melakukan aktivitas, maupun dalam intensitas melakukan aktivitas. Pada pertumbuhan dalam keadaan khusus misal masa penyembuhan setelah sakit, kebutuhan asupan energi 200kkal/kg BB/hari dapat menaikkan berat badan sebanyak 20 g/hari. Angka kecukupan energi tidak mempertimbangkan faktor keamanan untuk peningkatan kebutuhan waktu sakit, trauma dan stres karena hanya merupakan kebutuhan rata-rata. Kebutuhan energi remaja bervariasi tergantung aktivitas fisk dan tingkat kematangan. Asupan energi perempuan pada tiga tahap perkembangan(pra-puber, tumbuh cepat dan pasca puber) berhubungan dengan tingkat perkembangan fisiologis, bukan dengan usia.
Penilaian terhadap asupan protein anak harus didasarkan pada:
1. Kecukupan untuk pertumbuhan
2. Mutu protein yang dimakan
3. Kombinasi makanan dengan kandungan asam amino esensial yang saling melengkapi bila dimakan besama
4. Kecukupan asupan vitamin, mineral dan energi.
Kecukupan protein remaja berkisar antara 0,29-0,32g/cm tinggi badan untuk laki-laki, dan 0,27-0,29 g/cm tinggi badan untuk perempuan.
3. KARIES GIGI
Kekurangan kalsium à Menyebabkan penyakit KERAPUHAN TULANG DAN GIGI, dengan ciri-ciri : Nyeri tulang saat bergerak, tubuh bungkuk, tulang mudah patah, gigi keropos.
Kalsium, penting untuk pertumbuhan tulang dan gigi, membantu pembekuan darah pada proses penyembuhan luka, serta memastikan jantung terus berdegup. Penambahan kalsium rata-rata sehari hendaknya berkisar antara 150-200 mg, puncaknya adalah sebanyak 400mg/hr dalam periode pertumbuhan cepat. Angka kecukupan kalsium untuk anak berkisar antara 500-600mg/hari. Kelebihan kalsium dapat berpengaruh negatif terhadap penyerapan seng, besi dan mangan. Kebutuhan kalsium dipengaruhi oleh ketersediaan biologis, aktivitas fisik dan keberadaan zat gizi lain. Angka kecukupan kalsium remaja adalah 1000mg/hari, baik untuk laki-laki maupun perempuan.